Share

7 Tips Menerapkan Sistem Kerja WFH dan WFO di Kantor Pada 2022

7 Tips Menerapkan Sistem Kerja WFH dan WFO di Kantor Pada 2022
Date: 22 November 2021
Author: Doddy Dwi Wahyuwono

Kasus pandemi di seluruh dunia memang masih fluktuatif, namun kurvanya kian melandai. Meskipun begitu, pandemi diprediksi akan tetap berkepanjangan.

Berlanjutnya pandemi juga diprediksi masih akan berdampak pada mayoritas aktivitas manusia di tahun 2022, termasuk dalam dunia kerja.

Jika pada 2020 silam berbagai bisnis dinilai tidak siap beradaptasi dengan situasi pandemi dan tahun 2021 adalah masa adaptasi sistem kerja baru yang mulai stabil, maka, di tahun 2022, bisnis diprediksi akan lebih siap untuk menyongsong normal yang baru.

Salah satu normal yang baru dalam dunia kerja, yang hingga saat ini dinilai efektif bagi bisnis, ialah integrasi sistem kerja WFH dan WFO, atau dikenal dengan sistem kerja hybrid.

Kendati demikian, penerapan WFH dan WFO di kantor pada tahun 2022 tidak datang tanpa tantangan. Masih banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi untuk penerapan sistem kerja hybrid ini oleh bisnis secara global, termasuk di Indonesia.

Jika perusahaanmu atau kantormu bekerja akan menerapkan sistem kerja WFH dan WFO, berikut 7 tips untuk menerapkannya secara lebih efektif dan efisien.

 

Tips Menerapkan Sistem Kerja WFH dan WFO di Kantor Pada 2022

 

Persiapkan jadwal WFH dan WFO yang sesuai kebutuhan perusahaan dan karyawan

Dilansir dari Hybrid Work Global Survey 2021 yang dirilis oleh Riverbed dan Aternity, salah satu kendala dalam penerapan sistem kerja hybrid di tahun 2022 ialah pembagian jadwal kerja.

68% bisnis secara global merasa belum menemukan formula shift yang tepat untuk pembagian WFH dan WFO yang adil.

Berbagai faktor dirasa menjadi kendala dalam hal ini. Di antaranya ialah:

  • Ketidaktahuan bisnis tentang porsi dan kebutuhan WFO atau WFH dari masing-masing pekerjanya
  • Aturan dari pemerintah terkait WFO dan WFH yang masih sering berubah-ubah
  • Ketidaksetaraan kualitas fasilitas yang dimiliki tiap pekerja ketika melakukan WFO
  • Dan banyak lagi

Dalam memecahkan permasalahan ini, bisnis sebaiknya membagi porsi WFH dan WFO berdasarkan tingkat kebutuhan dari bisnis itu sendiri dan karyawannya.

Tingkat kebutuhan ini bisa ditinjau dari skala prioritas tiap jabatan dan tugas kerja, serta seberapa layak fasilitas kerja yang dimiliki seorang pekerja di kediamannya.

Jika seorang pekerja tergolong sangat penting dan harus bekerja di kantor karena satu dan lain hal, maka sebaiknya pekerja tersebut diberikan porsi WFO yang cukup. Cukup di sini kembali pada kebutuhan bisnis dan pekerja itu sendiri, entah untuk mengakses data atau teknologi tertentu di kantor, mengadakan meeting dan kolaborasi kerja rutin yang memerlukan tatap muka, dan sebagainya.

Namun, jika ada beberapa pekerja yang tidak terlalu membutuhkan hal-hal tersebut, bukan berarti pekerja tersebut tidak diberi jatah WFO sama sekali.

Baiknya, perusahaan tetap memberlakukan WFO demi memitigasi kejenuhan WFH yang mampu berujung pada burnout.

 

Perbarui teknologi yang menunjang produktivitas dan keamanan kerja

Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Institute of Electrical and Electronics Engineering, tantangan lainnya dalam penerapan sistem kerja hybrid ada di bidang teknologi.

Tantangan terkait teknologi ini bisa dibagi ke dalam beberapa tahapan, yakni:

  • Apakah teknologi yang dimiliki sekarang mampu diakses dan menunjang performa selama WFH?
  • Jika mampu, apakah teknologi yang dimiliki aman dari berbagai ancaman siber yang ada?
  • Jika aman, seberapa rutin teknologi ini diperbarui agar tidak kalah canggih dari ancaman siber yang kian berkembang?
  • Jika sudah canggih, seberapa lama bisnis dapat bertahan dari segi operasional menggunakan teknologi ini?

Pasalnya, 4 hal ini perlu diperhatikan oleh bisnis guna memastikan keberlangsungan bisnis di situasi yang serba tak pasti.

Apalagi terkait isu keamanan data yang dirasa kian meningkat oleh 76% pakar keamanan siber di seluruh dunia.

Berbagai kejahatan siber yang makin marak dewasa ini ialah phishing, serangan malware dan DDoS, pencurian data, dan banyak lagi.

Bisnis perlu memikirkan matang-matang keamanan data dari sisi teknologi dan operasionalnya guna mengoptimasi performa dan produktivitas tiap pekerjanya.

 

Jadwalkan meeting dan komunikasi secara rutin, namun tidak berlebihan

Temuan penelitian yang dilakukan McKinsey melaporkan bahwa perusahaan yang menjaga relasi dan komunikasi dengan pekerjanya semasa WFH mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan kerja hingga 5x lipat dibandingkan dengan perusahaan yang jarang melakukan komunikasi.

Komunikasi ini mencakup meeting rutin dan update informasi seputar perusahaan dan rencana pascapandemi, baik secara online maupun offline.

Pasalnya, bisnis yang proaktif dalam berkomunikasi dengan pekerjanya mampu memberikan motivasi tambahan bagi pekerjanya di masa yang sulit ini.

Namun, hal lain yang perlu diingat ialah komunikasi yang dijalin ini harus sesuai porsinya, dalam artian memang dibutuhkan untuk memberikan atau bertukar informasi tertentu.

Jika bisnis, misalnya, melakukan meeting tanpa ada arah yang jelas dan terlalu sering, maka hal ini akan membuat pekerja menjadi kontraproduktif dan lebih cepat mengalami burnout.

 

Buat sistem tracking kerja baru yang mampu menyesuaikan kondisi WFH

Pada bagian lain dalam Hybrid Work Global Survey 2021, 57% bisnis merasa transparansi akan menjadi faktor yang lebih kompleks pada penerapan sistem kerja WFH dan WFO.

Transparansi yang dimaksud mencakup banyak hal, namun faktor yang paling mayor ialah transparansi komunikasi dan kolaborasi kerja, serta transparansi performa itu sendiri.

Bukan bisnis menuduh bahwa pekerjanya hanya bersantai-santai dan tidak bekerja semasa WFH, namun terkadang melacak performa kerja tiap pekerja menjadi lebih rumit dalam situasi ini.

Solusi yang dibutuhkan adalah strategi manajemen tim yang baik, didukung dengan bantuan teknologi yang akomodatif.

Beberapa yang dapat dilakukan ialah bisnis dapat menggunakan teknologi kolaborasi kerja yang merekam beragam tugas yang dikerjakan oleh masing-masing pekerja di tiap tim.

Dan lagi, penting bagi bisnis atau pekerja untuk menentukan target harian atau mingguan, sehingga kedua belah pihak secara adil mengetahui apa yang terjadi semasa WFH dan WFO.

 

Berikan update berkala terkait rencana perusahaan dalam beradaptasi dengan situasi pandemi

Siapa sangka, para pekerja justru lebih menyukai jika perusahaan memberikan update berkala terkait rencana perusahaan dalam beradaptasi dengan pandemi?

47% pekerja merasa lebih cemas jika perusahaan jarang atau dianggap tidak menyikapi pandemi.

Rencana adaptasi ini bisa berkaitan dengan penyikapan perusahaan terhadap kebijakan baru dari pemerintah, perkembangan dan pertumbuhan kasus pandemi, dan visi perusahaan dalam menyongsong masa pascapandemi.

Maka dari itu, penting bagi perusahaan untuk, secara berkala, mengirimkan memo pada pekerja, entah melalui email ataupun kanal komunikasi lain yang digunakan.

 

Alokasikan ulang biaya yang sebelumnya digunakan untuk WFO secara penuh

Dari sebuah studi yang dilakukan oleh Nasscom dan Indeed, ditemukan bahwa selama WFH perusahaan menghemat biaya operasional secara signifikan di bidang-bidang yang terbilang mahal ketika WFO.

Hal ini mencakup biaya gedung perkantoran, perawatan fasilitas kerja kantor, dan berbagai biaya lainnya.

Segala biaya yang sebelumnya dikeluarkan perusahaan tersebut merupakan biaya yang diperuntukkan untuk menunjang performa para pekerja.

Maka, seyogyanya, biaya tersebut digunakan untuk kebutuhan lain yang mampu menunjang pelaksanaan sistem kerja WFH dan WFO.

Seperti contohnya, biaya dapat dialokasikan untuk kebutuhan pembaharuan teknologi, insentif WFH, dan/atau benefit lain seperti adanya pelatihan kerja maupun sesi konseling.

Dengan demikian, perusahaan telah bertindak nyata guna memenuhi tantangan yang ada selama pelaksanaan WFH, dan kemudian sistem kerja hybrid.

 

Beri perhatian dan tindakan nyata terkait kesehatan mental pekerja

Salah satu hal yang hingga saat ini menjadi perbincangan hangat di dunia kerja semasa pandemi ialah kesehatan mental pekerja.

Lebih kurang 50% pekerja menyatakan mereka mengalami burnout dikarenakan tuntutan kerja yang berubah-ubah semasa pandemi.

Namun, McKinsey merasa angka ini terlalu kecil dari data sebenarnya dengan asumsi bahwa ada kecenderungan pekerja yang mengalami burnout enggan berpartisipasi dalam survei.

Selain kesehatan mental pekerja secara umum, pandemi juga turut memperparah kesenjangan kesejahteraan antar pekerja, khususnya ditinjau dari segi gender.

Hal-hal semacam ini merupakan tantangan baru yang harus dihadapi bisnis dan pekerja dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, nyaman, dan menyenangkan.