7 Tips Menghindari Hustle Culture bagi Milenial dan Gen Z
Date: 15 November 2021
Author: Doddy Dwi Wahyuwono
Hampir setiap malam masih lembur kerja? Setiap akhir pekan masih kerja juga? Hampir tidak ada waktu yang dihabiskan selain bekerja?
Mungkin kamu sedang menjadi bagian dari hustle culture.
Hustle culture adalah fenomena di dunia kerja yang akhir-akhir sedang naik daun, namun sebenarnya sudah ada sejak lama.
Jadi apa itu hustle culture? Apa penyebab dan akibat yang ditimbulkan? Dan bagaimana tips menghindari hustle culture?
Mari kita bahas.
Daftar Isi
- Apa itu hustle culture
- Mayoritas penyebab dan akibat hustle culture
- Tips menghindari hustle culture bagi Milenial dan Gen Z
- Jangan terlalu sering membandingkan diri
- Buat goals yang realistis untuk pekerjaanmu
- Ciptakan timeboxing agar kerja menjadi efisien
- Terapkan sistem gamifikasi pada pekerjaanmu
- Perjelas batasan jam kerja dan toleransinya
- Luangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa
- Tanyakan hal-hal berikut terkait pekerjaanmu
- Kesimpulan
Apa itu hustle culture
Dilansir dari Race to a Cure, hustle culture dapat diartikan sebagai standar sosial yang menanamkan paham bahwa seseorang baru bisa sukses jika ia bekerja tanpa henti tanpa membertimbangkan batasan yang dimilikinya.
Standar hustle culture sendiri seringkali tidaklah realistis, sehingga apa yang dihasilkan cenderung kontraproduktif.
Dengan menggunakan sukses dan produktivitas yang hanya bisa dicapai dengan bekerja melebihi kapasitas seorang individu, orang tersebut dapat dimanipulasi dan dimanfaatkan tenaga serta waktunya untuk bekerja di luar batas wajar.
Uniknya, jika kita bicara di luar batas, maka standar yang kita bayangkan mungkin berupa jam kerja yang terus bertambah setiap tahunnya.
Namun, hal ini bertentangan dengan data yang ada. Semakin berkembangnya peradaban, ternyata rata-rata jam kerja di berbagai negara tiap tahunnya mengalami penurunan.
Jika ternyata penyebabnya bukan dari jam kerja yang bertambah, lalu apa yang menjadi penyebab hustle culture itu sendiri?
Mayoritas penyebab dan akibat hustle culture
Penyebab hustle culture sangat beragam, baik dari faktor eksternal maupun internal.
Jam kerja, yang dikatakan mengalami penurunan, ternyata menjadi salah satu penyebab. Pasalnya, yang ada dalam riset ialah jam kerja yang dilaporkan berdasarkan kontrak.
Hal ini mendiskreditkan jam yang digunakan untuk bekerja, namun tidak dilaporkan dalam kontrak. Seperti data yang menunjukkan bahwa rata-rata pekerja di Indonesia melebihi waktu kerja 40 jam dalam seminggu.
Dan, menariknya lagi, hustle culture ini lebih umum dialami pekerja yang berusia muda, yakni generasi milenial dan gen Z.
Mayoritas penyebab hustle culture di kalangan kelompok pekerja ini ialah:
- Penambahan signifikan jam kerja di luar jam dan hari yang dianggap wajar secara berkelanjutan
- Miskonsepsi atas standar kesuksesan yang hanya bisa dicapai dengan kerja di luar batas wajar
- Maraknya praktik membanding-bandingkan pencapaian dan kesuksesan di dunia nyata dan maya
- Adanya ekspekstasi, tuntutan, target, dan beban kerja yang melebihi kapasitas kerja seseorang
- Dan masih banyak lagi
Dari penyebab yang beragam tersebut, muncul akibat yang beragam pula, di antaranya:
- Performa pekerja dan bisnis yang kian menurun, tidak stabil, dan cenderung kontraproduktif
- Naiknya tingkat stress pekerja yang berdampak pada menurunnya kesehatan fisik dan mental
- Munculnya kebiasaan workaholic yang kian menjadi parah
- Lingkungan kerja menjadi lebih toxic
- Dan banyak lagi
Tips menghindari hustle culture bagi Milenial dan Gen Z
Walaupun hustle culture adalah fenomena yang kompleks, terlebih bagi milenial dan gen Z yang notabene baru terjun ke dunia kerja, hal ini bukan berarti tidak dapat diobati ataupun dihindari.
Berikut ialah tips menghindari hustle culture bagi milenial dan gen Z.
Jangan terlalu sering membandingkan diri
Seringkali, bibit-bibit hustle culture tumbuh akibat adanya kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan orang lain, baik di dunia nyata maupun maya.
Contoh lekat di dunia nyata ialah adanya perkataan dari keluarga maupun orang terdekat yang membandingkan seseorang dengan orang lain yang dinilai lebih sukses berdasarkan standar kesuksesan tertentu.
Di dunia maya, contohnya mungkin lebih relevan lagi dengan apa yang dialami mayoritas pekerja sekarang, yakni adanya unggahan-unggahan motivasional baik terkait pencapaian pribadi ataupun quotes dari figur tertentu.
Unggahan semacam ini ibarat pisau bermata dua, di mana di satu sisi ialah memberikan inspirasi bagi orang lain agar tidak mudah berpuas diri. Namun, di sisi lain, hal ini menjadi pemicu kecemasan dan keputusasaan bagi sebagian orang.
Tidak hanya unggahan pencapaian diri yang menjadi problematik dewasa ini, namun juga unggahan quotes tertentu.
Seperti, misalnya, kutipan yang cukup populer ini.
“Saya tidak berhenti ketika saya merasa lelah, namun saya baru berhenti ketika saya sudah selesai.” Kurang lebihnya seperti itu.
Di satu sisi, hal ini memang benar karena menunda-nunda pekerjaan akan berakibat lebih buruk di kemudian hari.
Namun, di sisi lain, hal ini tidak sesederhana itu karena, dalam beberapa kasus, justru hal ini yang menyebabkan pekerja tidak berhenti bekerja, sedangkan beban kerjanya terus ditambah.
Idealnya, istirahat ketika lelah memang dibutuhkan dan tidak masalah untuk berhenti satu atau dua kali meskipun pekerjaan belum selesai karena pekerja pun memiliki batasnya masing-masing.
Dan, penting disadari bahwa batas setiap pekerja berbeda-beda, juga standar “cukup” setiap orang pun berbeda-beda.
Buat goals yang realistis untuk pekerjaanmu
Target dan goals dalam suatu pekerjaan juga seringkali menjadi penyebab timbulnya hustle culture. Terlebih yang tidak realistis.
Dan, goals ini bisa jadi datang dari faktor eksternal maupun internal.
Jika ditinjau dari faktor eksternal, penyebabnya bisa jadi karena tuntutan perusahaan untuk tetap produktif yang kian bertambah, seiring makin kompetitifnya suatu industri.
Kalau kamu dihadapkan dalam situasi ini, solusinya ialah bernegosiasi ulang dengan atasanmu atau pemberi kerja tersebut.
Sampaikan kendala dan beban kerja yang kamu miliki, serta sebutkan pula porsi yang bisa kamu kerjakan. Di titik ini, komunikasi menjadi kunci untuk memantik empati, pengertian, dan toleransi dari pihak eksternal.
Tetapi, jika penyebabnya datang dari faktor internal, tingkat kompleksitasnya akan menjadi bertambah.
Pasalnya, hal ini mengindikasikan bahwa kita berekspektasi lebih terhadap diri sendiri, yang mana di kemudian hari bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Jika kamu merasa kamu mengalami hal ini, solusinya mungkin akan lebih kompleks karena kamu harus bisa benar-benar memahami dirimu.
Pahami tujuan dari yang kamu kerjakan, lalu spesifikkan tujuan tersebut dalam bentuk kerja yang kamu harus lakukan dan masih dapat dilakukan sehari-hari. Pun, jangan lupa untuk menetapkan target harian yang memungkinkan untuk dicapai secara penuh dan konsisten.
Ciptakan timeboxing agar kerja menjadi efisien
Timeboxing adalah solusi yang baik guna memanfaatkan jadwal dan waktu yang ada secara efisien dan efektif untuk mencapai hasil terbaik yang memungkinkan untuk dicapai.
Cara pengelolaan waktu ini juga digunakan oleh Elon Musk guna memaksimalkan efisiensi waktu dengan hasil kerja yang dimiliki.
Berbeda dengan penjadwalan pada umumnya, timeboxing tidak digunakan untuk sekadar menjadwalkan apa harus dikerjakan kapan.
Melainkan, timeboxing juga digunakan untuk membatasi waktu yang digunakan dalam bekerja. Tujuannya, dengan waktu kerja yang dibatasi, maka pekerja pun bisa mengkalkulasikan seberapa banyak usaha yang dikerahkan untuk menempuh hasil terbaik.
Jika kerja sudah selesai namun masa kerja belum habis, maka waktu yang tersisa bisa digunakan untuk beristirahat, bukan untuk mengerjakan pekerjaan lainnya.
Namun, jika masa kerja sudah selesai namun pekerjaan belum selesai, maka pekerjaan bisa diselesaikan di time box yang berbeda dan menjadi bahan evaluasi mengapa pekerjaan tersebut tidak dapat diselesaikan.
Timeboxing pun tidak sulit untuk diterapkan. Beberapa langkah yang bisa kamu lakukan untuk membuat time box ialah:
- Mendefinisikan tujuan dari masing-masing pekerjaan yang dimiliki
- Menentukan durasi dan waktu yang tepat untuk pengerjaan proyek
- Mengkalkulasikan pengerjaan mulai dari tahap persiapan dan proses, serta reviu (jika dibutuhkan)
- Menghitung jumlah jam kerja yang dibutuhkan dalam tempo waktu tertentu dan, jika terdapat jam kosong, bisa dialokasikan sebagai masa istirahat maupun jam pengganti jika terdapat pekerjaan yang belum selesai.
Contoh timeboxing adalah seperti ini:
Terapkan sistem gamifikasi pada pekerjaanmu
Menerapkan gamifikasi juga bisa dianggap sebagai tips untuk menghindari hustle culture, meskipun tidak sepenuhnya.
Menganggap tugas kerja sebagai tantangan dalam sebuah game dan pemberian reward atas penyelesaiannya membantu mengurangi stres kerja yang ditimbulkan dari beban kerja.
Sistem ini tidak secara penuh menghindarkan seseorang dari hustle culture, melainkan memitigasi dampaknya.
Namun, tidak benar juga jika dibilang gamifikasi tidak berdampak baik bagi pekerja.
Pasalnya, sistem gamifikasi berpotensi membuat hari-hari lebih menyenangkan untuk dijalani dan tugas-tugas kerja menjadi menantang untuk diselesaikan.
Pemberian reward berdasarkan skala untuk tiap kerja yang diselesaikan mampu menumbuhkan motivasi tersendiri untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Penerapan gamifikasi sebenarnya cukup mudah.
Yang bisa kamu lakukan ialah:
- Tentukan tingkat beban dari tiap kerja beserta tingkat reward yang akan didapatkan
- Buat kriteria yang mampu memberikan validasi apakah suatu pekerjaan dianggap selesai serta kriteria untuk memperoleh reward
- Berikan reward yang rasional, tidak kurang dan tidak lebih, dari suatu pekerjaan yang telah diselesaikan
- Catat seluruh perkembangan pekerjaan yang telah diselesaikan dan juga reward yang didapatkan
- Lakukan evaluasi secara berkala untuk menginvestigasi apakah sistem gamifikasi yang sudah dijalankan tepat sasaran dan konsiderasikan pengembangkan sistem gamifikasi tersebut untuk kemudian harinya
Perjelas batasan jam kerja dan toleransinya
Hustle culture seringkali juga tumbuh karena ketiadaan batasan jam kerja keseluruhan dan per proyek.
Adanya batasan memberikan aturan tegas bahwa suatu pekerjaan harus diselesaikan tanpa perlu mengganggu keseimbangan hidup di luar kerja.
Dengan demikian, pekerja bisa memperkirakan usaha yang perlu dikeluarkan guna menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan adanya batasan waktu yang sudah ditetapkan.
Hal ini juga diperlukan guna meminimalisir munculnya sikap-sikap perfeksionis yang acap kali muncul jika pekerja merasa bahwa suatu pekerjaan masih bisa dimaksimalkan.
Namun, dalam beberapa kasus, ada juga masa di mana suatu pekerjaan memang tidak dapat diselesaikan dalam batasan jam kerja tertentu. Contohnya pekerjaan mendesak yang membutuhkan lembur.
Dalam kasus ini, penting untuk mengatur waktu yang dapat ditolerir guna menyelesaikan pekerjaan dalam keadaan unik semacam ini.
Pun, perlu dipikirkan juga kompensasi setara yang layak diperoleh jika menggunakan batas waktu toleransi atau melampauinya.
Secara garis besar, konsep pemberian batas ini tidak jauh berbeda dengan paduan timeboxing dan gamifikasi.
Luangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa
Memiliki waktu luang untuk tidak melakukan apa-apa terkadang diperlukan, terlebih jika kamu menghadapi hari-hari kerja yang super padat.
Pasalnya, waktu luang ini bisa dimanfaatkan untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud pun bukan hanya berarti tidur, namun bisa juga untuk menikmati masa-masa senggang di tengah sibuknya kehidupan.
Pun, bagi beberapa orang yang memiliki hobi, waktu semacam ini bisa juga dialokasikan untuk menggeluti kegemarannya itu.
Tidak ada aturan tertentu yang membatasi penggunaan waktu kosong ini. Namun, yang perlu diperhatikan, sangat penting untuk tidak menggunakan waktu kosong ini guna mengejar ketertinggalan kerja.
Pun, dalam menciptakan waktu kosong ini, durasinya dapat bersifat fleksibel. Bisa disela-sela hari agar satu hari tidak menjemukan untuk kerja saja.
Bisa juga ditentukan di akhir pekan sebagai quality time yang memang hanya dihabiskan untuk melepas penat.
Tanyakan hal-hal berikut terkait pekerjaanmu
Dalam banyak kasus juga, terkadang hustle culture muncul karena tekanan dari luar. Bisa jadi dari lingkungan kerja, kerabat, maupun tuntutan kerja yang memang berlebih.
Namun, tidak bisa langsung juga diputuskan bahwa hustle culture ini lahir karena tekanan yang berlebih pula.
Bisa jadi hustle culture ini juga dipengaruhi oleh kurang efektif dan efisiennya kita dalam mengerjakan sesuatu.
Tentunya, hal ini perlu divalidasi terlebih dahulu kebenarannya. Barangkali memang ada cara yang lebih efektif guna mengerjakan sesuatu sehingga mengoptimalkan efisiensi kerja pula.
Beberapa hal yang perlu ditanyakan ke dirimu sendiri sebagai perenungan ialah sebagai berikut:
- Berapa banyak kerja yang harus dilakukan sehari-hari dan pada masa tertentu?
- Berapa banyak pekerjaan yang ditambahkan di luar dari kerja utama yang diberikan?
- Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan? Apa saja proses yang harus dilakukan guna menyelesaikan pekerjaan tertentu?
- Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk bekerja dalam satu hari maupun seminggu? Berapa banyak hal yang dihasilkan dari waktu kerja tersebut?
- Rata-rata berapa lama waktu ekstra yang dihabiskan untuk mengerjaan suatu pekerjaan tertentu?
- Bagaimana komparasi performa kerja yang dimiliki dalam satu periode tertentu?
- Apa tujuan utama dari segala proses kerja yang dilalui? Apakah seluruh proses tersebut memang benar-benar diperlukan dalam mencapai hasil kerja yang dibutuhkan?
- Apakah pemberian reward yang diberikan sudah sesuai sebagai kompensasi dari proses dan hasil kerja yang diberikan?
Jika dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dirasa bahwa kamu memang terlalu banyak dan lama bekerja, maka penting untuk segera mengkomunikasikan hal ini kepada atasan maupun rekan kerjamu. Sehingga, orang lain tahu bahwa apa yang kamu jalani cenderung menyebabkan masalah berlebih dalam hidupmu dan harus ditemukan solusinya.
Namun, jika jawabannya ialah sebaliknya, ada pentingnya kamu meninjau ulang cara kerjamu serta mencari tips kerja yang mungkin bisa kamu terapkan.
Kesimpulan: Tips menghindari hustle culture bagi Milenial dan Gen Z
Kesimpulan dari tips menghindari hustle culture bagi Milenial dan Gen Z adalah
- Jangan terlalu sering membandingkan diri
- Buat goals yang realistis untuk pekerjaanmu
- Ciptakan timeboxing agar kerja menjadi efisien
- Terapkan sistem gamifikasi pada pekerjaanmu
- Perjelas batasan jam kerja dan toleransinya
- Luangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa
- Renungkan kembali pekerjaanmu
Hustle culture memang permasalahan yang sangat kompleks dan merugikan, baik bagi pekerja maupun perusahaan.
Jika sudah muncul indikasi bahwa kamu terpapar hustle culture, ada baiknya kamu meninjau ulang pekerjaan yang kamu miliki dan segera mengkomunikasikannya dengan atasan.
Tentunya agar tercipta lingkungan dan produktivitas kerja yang tidak memberatkanmu maupun merugikan perusahaan.